Kawasan Malioboro Sebagai Kawasan Budaya

Spirit Kawasan Malioboro Sebagai Kawasan Budaya
Oleh Jhohannes Marbun

Pendahuluan
Dalam buku yang ditulis Darmosugito dkk berjudul “Kota Jogjakarta 200 Tahun” disebutkan bahwa terdapat tiga perkampungan yang dihuni oleh para pendatang diantaranya: pertama, kampung orang kulit putih yang mendiami daerah Lodjikecil meluas ke jalan Setjodiningratan (dahulu Kampemen Straat), Bintaran, Jetis, dan Kotabaru. Kedua, perkampungan orang Arab yang menempati daerah Sayidan, dan ketiga yaitu perkampungan Tiong Hoa atau yang dikenal dengan Pecinan yang terletak di daerah Kranggan, kemudian berkembang ke tempat-tempat perdagangan lainnya di sepanjang Jalan Malioboro ."Apotik Kimia Farma/Dok. Joe Marbun" Secara spesifik Dulbachri juga mengklasifikasikan masyarakat ke dalam 4 (empat) bagian berdasarkan pengelompokan sosial ekonomi yaitu :
1. Rural urban cluster (kelompok penduduk yang cara hidupnya masih sama dengan penduduk desa) Seperti: Kotagede, Tegalrejo, Umbulharjo, Mergangsan, Mantrijeron, dan Wirobrajan.
2. Official cluster (kelompok pegawai) biasanya bekas tempat tinggal orang-orang Belanda seperti Baciro, Kotabaru, Cemorojajar, serta Pakel (komp. Wartawan).
3. Chinese Cluster (kelompok orang-orang cina) di sepanjang jalan Malioboro, Mangkubumi, Sudirman, Diponegoro, dan Urip Sumoharjo, serta di pasar seperti Kranggan, Pajeksan, Gandekan, Ketandan, dan beberapa tempat lainnya.
4. Indonesia Merchant Cluster (Kelompok pedagang Indonesia) seperti Karangkajen, Prawirotaman, Purbayan, Prenggan, Kauman, Suronatan, dan perkampungan di dalam benteng.

Peristiwa sejarah tentang perkampungan di Yogyakarta sebagaimana disebutkan diatas sangat menentukan perkembangan kota Yogyakarta di kemudian hari. Hal ini tentu selalu menarik untuk dipelajari dan dikembangkan. Sebut saja Malioboro sebagaimana menjadi topik dalam diskusi ini.

Ada beberapa versi tentang asal mula kata Malioboro. Dalam catatan Kapujanggan Keraton, nama Malioboro diambil dari nama salah satu Pesanggrahan Djajengrana (Amir Amsjah) . Namun pendapat lain mengatakan bahwa Malioboro berasal dari kata Marlborough, gelar John Churcill, seorang kepala wilayah Malrborough pertama yang juga seorang gubernur jenderal Inggris yang cukup terkenal di masanya. Sedangkan menurut P.B.R. Carey, Malioboro yang disebut berasal dari kata Malborough, perlu dikaji kembali, karena Inggris berkuasa di Yogyakarta hanya sebentar yaitu pada tahun 1811 – 1816. P.B.R Carey justru berpendapat bahwa Malioboro berasal dari bahasa Sanksekerta Malyabhara yang artinya karangan bunga karena setiap ada perayaan atau prosesi, Malioboro selalu dipenuhi karangan bunga. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi Malioboro pada masa lalu sebagai jalan yang dilalui pada saat berlangsungnya prosesi yang dilaksanakan oleh kraton .
Berbagai macam julukan diberikan terhadap Kawasan Malioboro yaitu sebagai Kawasan Pemerintahan, Kawasan Pariwisata, Kawasan Ekonomi, Kawasan Seniman dan Sastrawan, dan tentu sebutan lainnya. Malioboro merupakan citra kawasan Yogyakarta yang dikenal tidak hanya di Yogyakarta, tetapi juga di daerah lainnya di Indonesia, termasuk di luar negeri. Banyak wisatawan baik domestik maupun mancanegara berkunjung ke Yogyakarta, hampir dipastikan semuanya menyempatkan diri untuk mampir di Malioboro. Adanya slogan “Anda belum dikatakan ke Jogja jikalau belum mampir ke Malioboro” ternyata menjadi sebuah promosi yang membawa konsekuensi logis mencitrakan Yogyakarta dimata orang di luar Yogya.

Malioboro dan Permasalahannya
Berbicara tentang Malioboro, barangkali bak cerita yang tidak pernah berakhir. Dalam Harian Kedaulatan Rakyat pada dekade 1960 – 1980an, permasalahan Malioboro selalu muncul. Mulai dari permasalahan pedagang kaki lima yang memanfaatkan trotoar jalan, maupun permasalahan becak dan andong yang memenuhi badan jalan di sepanjang Malioboro, dan akhir-akhir ini tambah masalah perparkiran. Terhadap permasalahan tersebut, terjadi perubahan secara fisik di jalan Malioboro seperti Lebar jalan, perubahan jalur, perubahan konsep jalan, termasuk jalur hijau dan trotoar . Bahkan permasalahan pengelolaan Kawasan Malioboro tidak pernah tuntas sampai saat ini. Rencana terakhir, Pemerintah Kota Yogyakarta merancang Kawasan Malioboro menjadi kawasan pedestrian dan public space. Namun demikian, tidaklah berjalan dengan mulus. Kasus taman di perempatan nol km, misalnya menuai kritik dari beberapa pihak karena dinilai terlalu besar. Masalah lain adalah masalah perparkiran di Malioboro menjadi pembahasan yang tak pernah selesai dibahas. Malioboro sebagai kawasan ekonomi, setidaknya memiliki konsekuensi logis bahwa kawasan tersebut harus disesuaikan dengan peruntukan kawasannya. Tetapi kita juga lupa, bahwa Malioboro sebagai kawasan ekonomi tidak dapat kita lupakan terbentuk dari proses budaya yang berkembang di masyarakat pada masa itu.

Batik dan Kawasan Malioboro sebagai sebuah Paradoks
Pada Tanggal 02 Oktober 2009, di kota Abu Dhabi – Uni Emirat Arab, UNESCO resmi menetapkan Batik yang berasal dari tanah air Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia. Ini merupakan momentum puncak dari sejumlah rangkaian sidang The Committee for the Safeguarding of the Intangible Heritage UNESCO yang telah dimulai sejak tanggal 28 September 2009 yang lalu. Dampak ditetapkannya Batik sebagai warisan budaya dunia adalah pengakuan warga dunia terhadap Indonesia akan kekayaan budaya yang dimiliki. Pada sisi lain, industri batik di tanah air juga berkembang pesat seiring banyaknya warga dunia yang menggunakan batik sebagai pakaian resmi ataupun non resmi. Tentu hal ini berdampak pula secara ekonomi bagi pedagang di sepanjang Malioboro yang memang sudah sejak lama menjadikan batik sebagai barang komoditi andalan. Peran Malioboro untuk melestarikan batik maupun warisan budaya lainnya tentu sangat penting. Hampir seluruh barang dagangan tidak dapat dilepaskan dari produk industri kreatif yang merupakan repro dari warisan budaya. Namun kita, seakan lupa warisan budaya tidaklah selalu tanpa wujud (Intangible).
Malioboro sangat khas dengan aristektur kunonya. Hal inilah yang sering kali terlupakan, bahkan kebijakan yang dibuat tidak terimplementasi dengan baik di lapangan. Jikalau berbicara Malioboro, Karakteristik yang menonjol untuk kawasan Ketandan dan Malioboro adalah arsitektur bangunan dan aktivitas perdagangan. Daerah tersebut dipilih sebagai tempat tinggal sekaligus jual beli adalah karena beberapa faktor :
1. Letaknya yang strategis karena berdekatan dengan pusat perekonomian dan pusat pemerintahan
2. Ditepi jalan yang merupakan poros kota Yogyakarta
3. Faktor keamanan terjamin karena berdekatan dengan benteng dan pusat kekuasaan.
Ciri-ciri arsitektur yang menonjol adalah arsitektur China: bagian atap yang berbentuk lancip seperti kepala naga pada sudut atap dan ujung bubungan dan beberapa ornamen, diantaranya terdapat pada roster/ lubang angin, dinding, ataupun listplank. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah di sepanjang jalan ini. Karena itu, secara kultural, ruang Malioboro merupakan gabungan dua kultur dominan, yakni Jawa dan Cina.

Malioboro Sebagai Kawasan Budaya
Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya tentu membawa konsekuensi logis dan yuridis bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Disamping memiliki hak pribadi, kita juga terikat dalam sebuah hak bersama atau yang dikenal dengan kewajiban kita sebagai warga negara. Dalam ketentuan umum UU CB 11/2010 pasal 1 angka 1 disebutkan tentang pengertian cagar budaya. Yang dimaksud dengan Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Dari pengertian tersebut, ada 4 (empat) hal penting yang melekat dan menjadi titik penekanan tentang cagar budaya yaitu: 1) bersifat kebendaan, 2) perlu dilestarikan, 3) memiliki nilai penting, dan 4) proses penetapan .
Sedangkan yang dimaksud dengan Kawasan Cagar Budaya menurut UU CB 11/2010 pada pasal 1 poin 6 Yaitu Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
Kawasan Malioboro telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai Kawasan Cagar Budaya, menurut Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor 6 tahun 1994 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota Yogyakarta. Hal tersebut berkaitan erat dengan keberadaan tempat bersejarah bernilai budaya, pariwisata dan untuk kepentingan penelitian. Dengan adanya penetapan sebagai kawasan cagar budaya maka wajib dijaga kelestariannya. Upaya penjagaan kawasan cagar budaya juga merujuk pada Perda DIY nomor 11 tahun 2005 tengan pengelolaan kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya, pasal 1 ayat 10, yaitu didefinisikan sebagai upaya-upaya untuk mempertahankan benda dari proses kerusakan dan kemusnahan sehingga tetap terjaga keberadaannya baik secara fisik maupun nilai yang terkandung didalamnya

Rekomendasi Penataan Kawasan Malioboro
Pemaparan diatas hendaknya mengerucut pada satu pemahaman dan kesepemahaman yang sama, bahwa Kawasan Malioboro, tidak hanya sebagai Kawasan Ekonomi, tetapi juga sebagai Kawasan Budaya. Bangunan yang ada di sepanjang Malioboro adalah bangunan lama dan mewakili sejarah penting di masanya. Malioboro beriklim ekonomi karena selama ini memang seperti itu yang dibentuk. Yang paling banyak dipasang adalah papan nama dan papan reklame atau iklan. Kerugiannya adalah dari situ tidak diketahui adanya pembangunan, pembongkaran yang terjadi di sana. Hal ini tidak sesuai dengan fasad bangunan yang seharusnya tetap dijaga. Berbicara mengenai cagar budaya, belum semua pihak bisa menerima. Namun ada ide kreatif yang bisa dimunculkan sebagai bahan rekomendasi.
1. Pentingnya untuk mendokumentasikan secara lengkap Kawasan Malioboro sebagai bahan atau data dasar pengembangan Malioboro sebagai Kawasan Budaya. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan mahasiswa, akademisi, praktisi pelestarian, pemerintah, swasta, maupun masyarakat di sekitar Kawasan Malioboro. Diharapkan Pemerintah Kota Yogyakarta maupun Pemerintah Provinsi DIY dapat menjadi leading sector dalam kegiatan ini.
2. Pentingnya Heritage Mainstreaming dilakukan di Yogyakarta dan sekitarnya, termasuk untuk Kawasan Malioboro. Hal ini perlu ditindaklanjuti secara serius oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dengan dorongan dan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan lainnya. Kegiatan heritage mainstreaming belum ada di Jogja. Untuk itu, Slogan “Memahami Masa Lalu untuk Masa Kini dan Masa Mendatang” menjadi penting sebagai bagian dari kampanye ke depan.
3. Kehadiran produk-produk warisan budaya sebagai barang komoditi pasar merupakan pintu masuk ajakan kepada masyarakat luas bahwa pelestarian warisan budaya penting tidak hanya pada saat menguntungkan diri sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi orang lain, dengan mengetahui secara utuh dan menyeluruh tentang pelestarian warisan budaya bangsa.
4. Perlu dibentuk Kelompok masyarakat di sekitar Kawasan Malioboro untuk terlibat bersama dalam upaya penataan Kawasan Malioboro sebagai Kawasan Budaya bersama.
5. Dibutuhkan produk kebijakan sebagai panduan dan juga implementasi pelestarian warisan budaya. Hal ini merujuk pada UU Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dimana Kabupaten atau Kota memiliki tanggungjawab terhadap pelestarian warisan budaya bangsa.

—- 14062011 —-

Tentang joemarbun

arkeolog dan suka advokasi apa aja
Pos ini dipublikasikan di Warisan Budaya dan tag , , , . Tandai permalink.

6 Balasan ke Kawasan Malioboro Sebagai Kawasan Budaya

  1. Satusatuen berkata:

    hehehe saya sedang memegang buku kota yogyakarta tempo doeloe, dan disana disebut peter BR Carey. tokoh ini yang saya cari. bisa minta tolong ? saya cari tulisannya mengenai malioboro ini. terima kasih

    Suka

  2. joemarbun berkata:

    Barangkali bisa dispesifikkan apa yang bisa saya bantu?

    Suka

  3. Satusatuen berkata:

    “Sedangkan menurut P.B.R. Carey, Malioboro yang disebut berasal dari kata Malborough, perlu dikaji kembali, karena Inggris berkuasa di Yogyakarta hanya sebentar yaitu pada tahun 1811 – 1816. P.B.R Carey justru berpendapat bahwa Malioboro berasal dari bahasa Sanksekerta…….”

    saya ingin pdf-nya jika ada. karena ingin membaca karangannya hingga tuntas.

    Suka

  4. Joe Marbun berkata:

    Mas Satusauen, jikalau ingin ketemu P.B.R. Carey, bisa hari ini, 13 Juni 2013 langsung di Arsitektur UGM jam 19.30-20.30 wib

    Suka

  5. Agus Yuniarso berkata:

    Tentang wacana nama Malioboro, bisa dibaca tulisan Peter Carey, J. Noorduyn dan M.C. Ricklefs di buku ‘Asal Usul Nama Yogyakarta & Malioboro’ (Depok: Komunitas Bambu, 2015).

    Suka

  6. joemarbun berkata:

    terimakasih infonya mas Agus.

    Suka

Tinggalkan komentar