Tanggapan MADYA atas Dugaan Klaim Tor-tor dan Gordang Sambilan oleh Pemerintah Malaysia

Tanggapan Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA) terhadap ‘klaim’ Tor-tor dan Gondang Sambilan Oleh Pemerintah Malaysia

“Lemahnya Kesadaran Akan Pelestarian Warisan Budaya Bangsa”

 

Pemberitaan Kantor Berita Nasional Malaysia BERNAMA pada hari Sabtu, 16 juni 2012 yang lalu, tentang rencana negara Malaysia akan menetapkan Tarian Tor-tor dan Paluan Gordang Sambilan (sembilan gendang) masyarakat Mandailing sebagai Warisan Budaya Malaysia (berdasarkan Seksyen 67 Akta Warisan Kebangsaan 2005 Malaysia) ada beberapa hal yang perlu disampaikan disini: Fakta sejarah menunjukkan bahwa tortor merupakan tarian adat dari suku Batak yang biasanya dipraktekkan dalam ritual adat. Batak sendiri merupakan suku yang berasal dari puak-puak yang terdapat di wilayah Sumatera Utara khususnya wilayah Keresidenan Tapanuli (pada masa Kolonial). Namun dalam perkembangannya, suku Batak tidak saja tinggal dan menetap di wilayah asalnya, tetapi menyebar ke seluruh penjuru tanah air, termasuk ke Luar Negeri. proses perpindahan (migrasi) sudah terjadi puluhan bahkan ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka.

Kita perlu menyadari bahwa budaya tidak mengenal batas-batas wilayah, bersifat dinamis, dan selalu berkembang. Merupakan hal yang lazim terjadi ketika perpindahan (migrasi) pada seseorang atau kelompok orang membawa serta budaya yang melekat dalam dirinya serta mempraktekkannya ditempat yang baru. Peristiwa ini juga terjadi pada orang-orang Mandailing yang tinggal dan menetap di Malaysia. Persebaran budaya yang berasal dari Indonesia di luar negeri merupakan fakta yang harus kita sadari. Persebaran budaya tersebut tidak hanya terjadi di Malaysia, tetapi juga negara-negara lain di seluruh pelosok dunia. Sebut saja Suriname yang sebagiannya mempraktekkan kebudayaan Jawa dalam keseharian mereka. Di Ghana, batik merupakan bagian dari budaya yang mereka lakoni sampai saat ini, yang pada awalnya dibawa oleh negara kolonial ke negara tersebut. Ada perasaan bangga apabila seni dan budaya bangsa Indonesia dikenal luas oleh masyarakat dunia, apalagi banyak pihak yang kemudian mau mempelajari kekayaan budaya yang ada di Indonesia bahkan hanya sekedar berkunjung untuk menikmati secara langsung budaya tersebut di daerah asalnya, Indonesia. Selain menambah pendapatan perkapita melalui paket wisata, tentu juga dapat memperkuat diplomasi budaya antar budaya.

Klaim Malaysia terhadap kebudayaan yang berasal dari Indonesia bukanlah kali ini saja terjadi. Menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (20 Juni 2012), setidaknya Pemerintah Malaysia telah melakukan klaim sebanyak 7 (tujuh) kali dalam kurun waktu 2007-2012. Selain klaim terhadap Tortor dan Gondang Sambilan yang terjadi baru baru ini (Juni 2012), klaim serupa pernah dilakukan untuk Kesenian Reog Ponorogo (November 2007), Lagu Rasa Sayang’e (Desember 2008), Batik (Januari 2009), Tari Pendet asal Bali (Agustus 2009) dan alat musik Angklung (Maret 2010). Klaim ini seringkali terjadi, tanpa ada klarifikasi lebih lanjut kepada publik Indonesia dari kedua belah pihak, baik Pemerintah Malaysia maupun Pemerintah RI.

Klaim oleh Malaysia ini tentunya merupakan tamparan telak bagi Pemerintah RI yang selama ini kepeduliannya masih sebatas retorika dan belum sepenuhnya melakukan tindakan-tindakan nyata di lapangan. Hal ini terbukti, Pertama belum adanya Political Will dari pemerintah untuk melindungi dan melestarikan serta mengembangkan warisan budaya bangsa. Peraturan dan Kebijakan yang ada, belum sepenuhnya mampu melindungi warisan budaya yang ada di tanah air. RUU Kebudayaan sebagai bagian dari solusi untuk melindungi warisan budaya tak benda (intangible heritage) seperti kesenian, kreasi seni, musik, bahasa, dan dalam bentuk lainnya sampai saat ini belum dibahas oleh pemerintah maupun DPR RI. begitu pula perlindungan warisan budaya bendawi (tangible heritage) yang sudah melahirkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya masih terkendala dalam hal kebijakan operasionalnya karena tidak kunjung disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan dari UU Cagar Budaya tersebut.
Kedua, penganggaran yang sangat kecil di bidang kebudayaan dibandingkan potensi dan kekayaan budaya yang dimiliki oleh RI dan tersebar di seluruh penjuru tanah air. Anggaran-anggaran yang ada juga belum mampu menyentuh pada substansi sebenarnya untuk melestarikan warisan budaya bangsa. Ketiga, belum adanya institusi yang independen atau yang fokus mengurusi bidang kebudayaan. Bidang kebudayaan selama ini masih dijadikan pelengkap departemen-departemen yang ada. Sebelum tahun 2004 bidang kebudayaan digabung dengan bidang pendidikan, sedangkan tahun 2004 sampai dengan 2011, bidang kebudayaan digabung dengan bidang kepariwisataan, dan pada tahun 2011, kemudian digabung kembali dengan bidang pendidikan. Situasi ini menunjukkan bahwa pemerintah belum menemukan formula yang tepat tentang untuk mendudukan porsi, peran, dan arti penting kebudayaan bagi sebuah bangsa yang berdaulat dan merdeka. Mengelola warisan budaya, seharusnya tidak saja mengola potensi budaya yang ada di tanah air, tetapi juga mengelola potensi dan persebaran budaya yang ada di luar negeri. Hal ini bisa dilakukan dengan membentuk pusat-pusat kebudayaan nasional RI di negara-negara lain termasuk memandirikan bidang kebudayaan dengan membentuk departemen atau badan khusus setara menteri yang mempunyai kewenangan ‘mengelola’ persebaran budaya yang ada di luar negeri melalui Pusat Kebudayaan yang dilahirkan. Dan yang Keempat, peraturan dan kebijakan masih lemah dan belum memiliki kejelasan terutama dalam hal penegakan hukum bagi pelanggaran-pelanggaran dalam pelestarian warisan budaya bangsa.

Berdasarkan beberapa fakta dan pendapat di atas, maka Pemerintah RI bersama dengan DPR RI harus melakukan beberapa hal:
1. Mengevaluasi secara menyeluruh tentang ’klaim’ yang selalu terjadi terhadap budaya bangsa Indonesia dan menyampaikan hasil evaluasi tersebut kepada masyarakat termasuk langkah-langkah antisipasi yang harus dilakukan disertai tindakan kongkrit di lapangan. Kejadian klaim budaya oleh asing bukanlah yang pertama kali terjadi, tetapi sejak beberapa tahun lalu. Situasi ini menunjukkan kelemahan Pemerintah RI dalam melindungi dan melestarikan warisan budaya bangsanya Situasi merupakan tragedi dan ‘bencana’ bagi kebudayaan nasional.
2. Meningkatkan kepedulian, menjawab serta merealisasikan beberapa kelemahan sebagaimana dipaparkan di atas dengan tindakan nyata.

Kiranya klaim budaya oleh Malaysia diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi kita bahwa sangatlah penting melestarikan warisan budaya disertai dengan standar ataupun prosedur yang harus dipenuhi.

Salam Budaya,
Yogyakarta, 20 Juni 2012

Ttd

Jhohannes Marbun
Koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA)
Kontak: 081328423630

Tentang joemarbun

arkeolog dan suka advokasi apa aja
Pos ini dipublikasikan di Warisan Budaya dan tag , , , , , , , . Tandai permalink.

2 Balasan ke Tanggapan MADYA atas Dugaan Klaim Tor-tor dan Gordang Sambilan oleh Pemerintah Malaysia

  1. azmananuar berkata:

    saudara.
    dalam bahasa jawa, Melayu bererti BERLARI atau kata lain pelarian. rata-rata kebanyakan rakyat penduduk malaysia kesemuanya berasal dari seberang, bukannya indonesia shj, tapi dari seluruh nusantara.
    dimalaysia masih ada org jawa, kampar dan banjar. disebelah utara pula dari selatan thailand.
    sebenarnya kita serumpun dan x perlulah diperbesarkan isu ini.
    yg benar…
    JAWA SELANGOR

    Suka

  2. joemarbun berkata:

    setuju, kebudayaan tidak memiliki batas-batas wilayah, tetapi berbicara asal-usul, tentunya perlu diperjelas asal-usulnya sehingga tidak bias.

    Suka

Tinggalkan komentar