Opini menyikapi disahkannya UU Cagar Budaya 26 Oktober 2010

Penghancuran Warisan Budaya Yang Terlegalisasi*

(penyikapan terhadap disahkannya UU Cagar Budaya)

Oleh: Jhohannes Marbun**

 

Undang-Undang Cagar Budaya sudah disahkan DPR RI, Selasa (26/10). Akankah ini menjadi jawaban atas masalah pelestarian warisan budaya selama ini? Setidaknya ada dua pesan Presiden SBY terkait arti penting warisan budaya bangsa. Pertama, pada pembukaan “Pameran Warisan Budaya Bersama” di Museum Nasional Jakarta ,19 Agustus 2005, presiden mengatakan bahwa warisan budaya sangat bermanfaat bagi proses pembelajaran dan pengetahuan bangsa untuk memahami jati diri dan menumbuhkan rasa bangga terhadap tanah airnya. Kedua, saat Gelar Produk Budaya Industri Kreatif Nasional ,11 Juli 2007, SBY mengatakan bahwa “Benda-benda sejarah dan purbakala kita sangat luar biasa, karena itu perlu dikembangkan, termasuk tradisinya, adatnya, yang masih kita kenali, agar itu sekali lagi menjadi daya saing dalam ekonomi baru di negara kita”. Pernyataan ini mengandung pesan bahwa warisan budaya bangsa dapat dimanfaatkan sebagai sebuah alternatif dalam mengembangkan perekonomian nasional.

Ilmu pengetahuan dapat dipelajari melalui ide/gagasan dan perilaku (warisan budaya non ragawi/intangible heritage), maupun budaya material (warisan budaya ragawi/ tangible heritage). Warisan budaya ragawi (tangible heritage) sebagai wujud konkrit dari ide/gagasan dan tindakan yang dilakukan oleh manusia dapat mengungkapkan kehidupan sosial dan budaya masyarakat pada masa lampau. Bentuknya bisa berupa relief dan prasasti batu, lontar, kayu, lukisan dinding gua, dan media lainnya. Sebagai alat transfer pengetahuan, warisan budaya ragawi dapat menceritakan pengalaman dan pengetahuan secara lebih objektif dari pada buku-buku yang pasti sudah terkerangkeng oleh berbagai reduksi dari penulisnya. Untuk itulah warisan budaya perlu dijaga dan dipertahankan keberadaannya, serta dihadirkan di hadapan anak cucu kita, kalau mau bangsa Indonesia terus ada. Meski demikian, catatan Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA) sampai Juni 2010 menunjukkan bahwa kesadaran akan arti penting pelestarian warisan budaya masih kurang. Kasus -kasus seperti “mutilasi” eks Kodim Salatiga, Penghancuran Bioskop pertama di Indonesia yaitu Bioskop Banteng HEBE di Pangkal Pinang, bioskop Surya dan Garuda juga di Pangkal Pinang, sengketa makam Mbah Priok di Koja – Jakarta Utara, “Mutilasi” penjara Kalisosok Surabaya, pelelangan artefak kapal karam yang diangkat dari Perairan Cirebon yang masih berlanjut sampai dengan saat ini, penghancuran Bale Mardi Wuto (Komp. RS Mata dr. Yap) Yogyakarta, “kegagalan” adaptive re-used pizza hut jl. Sudirman Yogyakarta, hilangnya koleksi masterpiece museum Sonobudoyo – Yogyakarta yang sampai saat ini tidak jelas keberadaannya, serta banyak kejadian lainnya menunjukkan rendahnya penghargaan kita terhadap warisan budaya.

Ironisnya, pemerintah mempunyai andil besar dalam kasus-kasus tersebut, baik sebagai pelaku maupun pendorong terjadinya upaya penghancuran. Kebijakan pembangunan nasional masih menitikberatkan pada bidang ekonomi dan tidak seimbang dengan pembangunan karakter dan jati diri bangsa (kebudayaan). Tindakan pencurian, pengrusakan, pemalsuan, dan komersialisasi warisan budaya lebih banyak didasarkan pada motif ekonomi dan “mendukung” program pemerintah tersebut. Semua ini menunjukan bahwa komitmen pemerintah melestarikan warisan budaya bangsa masih sebatas pencitraan dan belum sampai pada tindakan nyata.

Darurat Cagar Budaya

Heri Akhmadi, Ketua Panja RUU Cagar Budaya DPR RI mengatakan saat ini warisan budaya dalam kondisi darurat, sehingga perlu segera disahkan RUU Cagar Budaya (Kompas 19 Oktober 2010). Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti. Pembahasan RUU Cagar Budaya saat ini sudah memasuki tahap akhir, pengesahan di paripurna DPR RI. Disisi lain, sebagian masyarakat pelestari warisan budaya dan institusi kampus menilai masih banyak kelemahan dalam RUU Cagar Budaya. Dengan demikian, RUU ini perlu disempurnakan dalam satu kali lagi masa sidang dengan pembahasaan yang intens.

Kejar setoran pengesahan RUU Cagar Budaya berpotensi mengancam keberadaan warisan budaya. Banyak persoalan yang belum diakomodasi oleh RUU Cagar Budaya ini. Persoalan yang paling mendasar adalah Pasal 1 ayat (1) bunyinya: “Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan”. Point ini menegaskan bahwa lingkup pelestarian dan jaminan hukum dalam RUU Cagar Budaya ini hanyalah warisan budaya yang sudah ditetapkan. Jika dibandingkan dengan Pasal 31 ayat (5) yang bunyinya: “Selama proses pengkajian, benda, bangunan, struktur, atau lokasi hasil penemuan (yang diduga cagar budaya) atau yang didaftarkan, dilindungi dan diperlakukan sebagai Cagar Budaya”. Ini merupakan pasal karet, karena tidak ada sanksi hukum bagi yang melanggar dalam ketentuan pidana RUU tersebut. Pasal ini sangat lemah jikalau digunakan sebagai upaya melindungi warisan budaya yang belum ditetapkan sebagai cagar budaya. Banyak warisan budaya yang sudah memenuhi kriteria akhirnya dirobohkan diganti dengan bangunan mal, pusat perbelanjaan ataupun lahan parkir dengan alasan belum ada SK Penetapan. Pasal tersebut juga berlaku pada warisan budaya yang berada di air. Umumnya situs bawah air tidak memiliki SK penetapan sebagai situs cagar budaya. Pengangkatan yang dilakukan justru digunakan sebagai awal untuk memilah-milah warisan budaya yang ada. Barang peninggalan sejarah yang dipilih akan ditetapkan sebagai cagar budaya, selebihnya sah untuk dijual, seperti pelelangan tahap ketiga yang akan tetap dilakukan oleh Pannas BMKT, termasuk membawanya ke luar negeri. Hal ini berpotensi menjadi sumber korupsi dari oknum pejabat di negeri ini.

Paradigma yang berpusat pada tindakan komersialisasi dan alasan praktis tidak dapat diterima. Jelas, tindakan itu salah dan hanya mengacu pada pengertian ekonomi yang sempit dan berjangka pendek serta tidak berkelanjutan bagi kepentingan generasi selanjutnya. Tantangan ke depan dalam pelestarian warisan budaya adalah seberapa mampukah kita menggali nilai yang ada didalamnya sebagai sumber pengetahuan tetapi sekaligus bermanfaat secara ekonomi? Candi Borobudur telah memberi manfaat bagi ilmu pengetahuan, sejarah, kebudayaan, dan ekonomi bagi bangsa Indonesia dan masyarakat dunia hingga saat ini. Warisan budaya yang dijaga juga akan membantu “pemetaan” di mana posisi Indonesia dalam sejarah (budaya) manusia yang sudah berusia dua millenium ini, bahkan mungkin jauh sebelum masehi. Jika tidak ada bukti sejarah dari warisan budaya ragawi maka gambar Indonesia tak nampak pada peta sejarah kebudayaan global manusia. Akankah UU Cagar Budaya yang telah disahkan mampu mendorong terciptanya pemerintahan yang berwawasan pelestarian warisan budaya (Heritage Governance) serta pembangunan nasional dan daerah yang berperspektif pelestarian budaya atau justru masa depan warisan budaya memasuki keadaan darurat jilid dua pasca disahkannya RUU Cagar Budaya. Masyarakat menanti kearifan dan kebijaksanaan elit di negeri ini.

========== 151110===========

* sebuah artikel yang dikirim ke kompas 26 Oktober 2010 dan tidak diterbitkan dengan alasan tidak aktual dengan kondisi yang terjadi saat itu.

** Koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA), Tinggal di Yogyakarta.

Tentang joemarbun

arkeolog dan suka advokasi apa aja
Pos ini dipublikasikan di Warisan Budaya dan tag . Tandai permalink.

2 Balasan ke Opini menyikapi disahkannya UU Cagar Budaya 26 Oktober 2010

  1. hurahura berkata:

    Banyak tulisan saya juga ditolak Kompas dengan alasan tidak aktual. Tapi kemudian dikembangkan oleh Kompas dengan melibatkan koresponden. Banyak media memang licik, bukan hanya Kompas. Saya tahu karena pernah bergiat di jurnalistik. Bahkan pernah melihat langsung R Badil dan Norman Edwin, wartawan Kompas, mengembangkan tulisan mahasiswa menjadi laporan jurnalistik mereka. Pelecehan terhadap penulis sering terjadi. Beberapa penulis pernah protes ke Kompas melalui surat pembaca. Tapi tetap saja penulis dalam posisi yang lemah.

    Suka

  2. joemarbun berkata:

    benar pak. dimanapun kita bisa menulis saat ini. termasuk melalui blog.

    Suka

Tinggalkan komentar